Ampel Maghfur Dalam Kenangan Sawong Jabo
beerita.id – Mochamad Djohansah yang lebih akrab dipanggil Sawong Jabo penyanyi Troubador yang menjadi legenda musik di tanah air lahir pada tanggal 4 Mei 1951 lahir di kampung Ampel yang menjadi kampung tertua di kawasan Surabaya, tepatnya di Ampel Maghfur. Di kampung inilah Jabo menghabiskan masa kecil hingga remajanya.
Masa kecil Hansya, panggilan akrab Sawong Jabo ketika tinggal di daerah Ampel dilalui dengan berbagai macam lika-likunya, Hansya sempat berjualan koran sampai membantu membuat kue dan baru ketika Hansyah duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama dirinya mulai tertarik dengan gitar, dari perkenalannya dengan gitar inilah yang kelak mengantarkan dirinya menjadi musisi terkenal di tanah air.
Masa-masa kecil hingga remajanya Hansyah tergolong sebagai anak yang tidak bisa diatur atau “mbeling” dalam istilah arek Suroboyo.
Sehari setelah Sawong Jabo dan Sirkus Barocknya sukses menggelar konser di Cak Durasim dalam acara yang diselenggarakan oleh Seduluran Semanggi Suroboyo, tepatnya Rabo malam tanggal 15 November saya mengundang Sawong Jabo yang merupakan sahabat lama untuk makan malam di daerah Ampel, tanpa menunggu lama Sawong Jabo datang bersama istri Sue Piper dan beberapa teman.
Sambil menunggu keluarnya menu yang dipesan, Tiba-tiba cak Jabo (biasa saya memanggil dengan panggilan akrabnya) berdiri dan menuju pintu keluar, rasanya seperti ada magnit kuat yang mendorongnya untuk keluar, ternyata cak Jabo menyebrang jalan menuju Ampel Maghfur dan memang rumah makan yang saya pesan berhadapan dengan Ampel Maghfur tempat Cak Jabo menghabiskan masa-masa kecil hingga remaja.
Tremor yang diderita cak Jabo dalam beberapa tahun ini sepertinya tak dirasakannya, cak Jabo rupanya ingin membagi kenangan dimasa kecilnya, dengan hati yang berbunga cak Jabo menunjuk sebuah rumah bernomor 55 ternyata rumah itulah tempat Sawong Jabo menghabiskan masa-masa kecilnya.
Cukup lama cak Jabo memperhatikan bekas rumah tinggalnya yang tentu memiliki banyak kenangan indah yang tak mungkin terhapus.
Setelah mengabadikan dengan beberapa foto cak Jabo terus berjalan menyusuri kampung kenangannya, sampai tibalah di depan Mushala Faturahman. Cak Jabo mulai bercerita sambil menunjuk mushala, disinilah tempat dia belajar mengaji disaat masih kanak-kanak. Suatu hari guru mengajinya mengantuk karena lelah dan mulai terlelap, sifat nakal Jabo mulai muncul sambil mengendap-ngendap Jabo nekat keluar menutup pintu mushala dan menggemboknya tentu saja guru mengaji dan murid-murid yang lain tidak bisa keluar.
Cak Jabo tertawa-tawa ketika menceritakan tentang kenakalannya ini.
Ketika kami akan kembali kerumah makan, cak Jabo ingat sesuatu dan menunjuk jalan raya, dulu disebrang Ampel Maghfur ada penjual es kacang ijo yang terkenal lezatnya, dan di masa-masa itu Jabo jarang pegang uang maka Jabo memutar otaknya agar bisa menikmati es kacang ijo tersebut, lalu Jabo memberi janji manis kepada penjual es agar bisa berhutang dan ini dilakukan berkali-kali dan sampai sekarang hutang itupun belum lunas-lunas tutur cak Jabo sambil melepas tawa mengingat kenangan-kenangan indah ketika ia tinggal di daerah Ampel. Seandainya penjual es itu masih ada tentu saya akan bayar berlipat lipat tutur cak Jabo.
Dan obrolan pun berlanjut di meja makan, cak Jabo menunjuk keluar dia bercerita, dulu di di jalan KHM Mansyur tiap hari lewat trem dari selatan menuju ke utara di daerah Perak dan Jabo sering memanjat kereta agar dapat tumpangan gratis dan ini semua diceritakan sambil mengingat-ingat dan diselingi tawa.
Cak Jabo juga menanyakan kue-kue khas Ampel yang tidak ditemukan di daerah Surabaya yang lain seperti kue Kamer, juga Mageli yang mirip seperti Lento tapi dicampur dengan rempah-rempah.
Rupanya cak Jabo masih ingat semua kenangannya di kampung Ampel walaupun lama tinggal di Jogja dan di Australia tapi kenangan-kenangan itu masih terasa indah dan membekas di memorinya dan memang hanya kenanganlah yang bisa membawa kita ke momen yang indah dimasa lalu.
Rasanya waktu cepat berlalu tak terasa larut malam mulai menghampiri dan kamipun saling berpamitan untuk pulang.