Rabu,3 juni 2020. Petang itu, telepon saya berdering, alangkah terkejutnya saya ketika mengetahui maksud dari obrolan tersebut adalah memberikan kabar duka.
Terlebih, seseorang yang pergi adalah sahabat yang sudah saya anggap layaknya saudara sendiri, Panji Dwi Anggara. Jujur, seolah tak percaya, rasanya sangat berat menerima kenyataan.

Masih terngiang jelas saat pertama kali saya bertemu Mas Panji. Bahkan saya masih mengingat tanggalnya, 6 Juli 2011. Siang itu di warung soto di Jalan Genteng Kali. kala itu, saya ingin mengadakan pameran di Jakarta. Mas Panji hadir sebagai wartawan dari Jawa Pos, bersama rekan-rekan media yang lain.
selepas itu, banyak pertemuan saya dengan mas Panji yang akhirnya menambah keakraban kami.
Di mata saya, Mas Panji yang berpawakan besar itu adalah teman yang baik. seseorang yang supel dan humble, perasaanya yang lembut dan senyumnya yang tak pernah lepas. Mas Panji ini cerdas, pikirannya sangat Visioner bahkan, menurut saya melebihi usianya.
Seiring berjalannya waktu, persahabatan saya dengan Mas Panji kian akrab. Oleh mas Panji, saya dikenalkan dengan keluarganya. Mulai dari saudara-saudaranya hingga ibu dari Mas Panji yang biasa saya panggil mami. Tak jarang mami juga membuatkan saya masakan padang, seperti rendang dan lotek. Rasanya sangat lezat seolah tidak bisa saya lupakan
Akhir Februari lalu, saya bertemu dengan mas Panji di sebuah kedai ice cream yang cukup terkenal di Surabaya. Mas Panji datang bersama istrinya. Sembari menikmati ice cream, saya berbincang dengan Mas Panji. Dari obrolan tersebut, lahirlah rencana untuk melakukan perjalanan ke Eropa. Kolaborasi yang menarik bagi saya, Mas Panji menulis tentang negara-negara di Eropa, sedangkan saya melakukan studi dan melukis disana. Alam Spanyol yang berbukit bukit memiliki filosofis menarik bagi saya.
Melanjutkan rencana itu, di awal Maret, melalui seorang teman yang dekat dengan kedutaan Spanyol, kami berangkat untuk pengajuan visa di Jakarta. Allhamdulillah semua dipermudah. setelah selesai, kami langsung menuju Stasiun Gambir untuk kembali ke Surabaya. Sepanjang perjalanan, deru suara kereta api bersanding dengan canda tawa kami.
banyak sekali yang diceritakan saat itu, mulai dari masa lalu hingga keinginan Mas Panji untuk mempunyai buah hati.
tak terasa menjelang subuh, kami telah sampai di Surabaya. di pintu keluar stasiun, mami dan keluarga mas Panji sudah menunggu kedatangan kami.
Passport dan visa sudah di tangan, rencana, sudah disusun dengan matang. namun, Allah mempunyai kehendak lain. Pandemi Covid 19 datang membubarkan segalanya. Saya dan Mas Panji sepakat untuk menunda perjalanan. Seperti sebuah firasat, Mas Panji mengatakan kepada saya ‘’Mas Hamid, Passport saya tolong pegang dan disimpan Mas Hamid dulu saja’’. Hingga kini, Passport itu masih tersimpan rapi di meja saya.
Sekarang, rasa sedih terus menyelimuti hati saya. Karena tenyata, Mas Panji terlebih dulu melakukan perjalanannya. Perjalanan yang abadi.
Saya jadi teringat pada sebuah kata-kata bijak “Persahabatan sejati itu layaknya kesehatan, nilainya baru kita sadari setelah kita kehilangan.”
Selamat jalan Mas Panji.
ragamu mungkin memang pergi, tapi canda tawa dan semua kenangan itu akan abadi.
Surabaya, 10 Juni 2020
Hamid Nabhan.