Menemani Pak Dahlan Bertemu Pengusaha
Suasana kantor sudah sepi. Hanya ada beberapa redaktur dan teman layout. Sore itu tenang sekali. Sampai akhirnya saya melihat Pak Dahlan. Memakai kaos oblong dan topi coklat yang selalu dibawa kemanapun. Tak lupa dengan sneakers yang memang sudah jadi ciri khasnya.
Setelah berkeliling di tiap sudut ruangan, ia duduk di depan saya. Terpisahkan meja yang disusun berbentuk oval. Jarak kami hanya tiga meter. Sebelumnya saya ditugaskan meliput tentang kepindahan ruang kerja walikota Surabaya. “Foto Anda cukup bagus. Tapi reportasenya terlalu sedikit. Mungkin Anda harus lebih lama disana,” ujarnya memecah keheningan. “baik pak,” jawab saya disertai anggukan.
Tidak lama, beliau berkeliling lagi.
Adzan Ashar baru saja dikumandangkan. Saya sudah merapikan perlengkapan untuk menyelesaikan tulisan di rumah. Tiba tiba dari sebuah ruangan,
Pak Dahlan memanggil. “nanti jam empat, saya ketemu pengusaha. Anda liput ya,” ajaknya.
Previous
Next
Pengusaha dari berbagai kalangan itu pun datang. Jumlahnya sembilan orang. Cuma satu yang dari Surabaya. Lainnya dari berbagai kota. Paling jauh Jakarta. Mereka tergabung dalam sebuah komunitas Masyarakat Tanpa Riba. Pengusaha ini rata rata mempunyai utang milyaran. Ada yang puluhan, bahkan ada yang 200 milyar. Paling sedikit cuma dua milyar. Tapi mayoritas dari mereka sudah lunas hutangnya.
Secara bergiliran, mereka menjelaskan bisnisnya ke Pak Dahlan. Ada Pak Thohir yang memiliki bisnis garmen di Ponorogo. Sehari bisa memproduksi 8000-10000 kaos. Sekarang sedang menerima order dari Negeri Ginseng. Adapula Pak Syaikhul Hadi. Dari Ponorogo juga. Hanya saja bisnisnya bergerak di bidang pertanian. Utangnya mencapai 200 milyar. tapi bisa lunas hanya dalam waktu satu tahun. Tanpa menjual aset.
Pak Arianda juga demikian. Memiliki bisnis pupuk organik di Malang. Hutangnya juga milyaran. Kalau dari Pemalang, ada Pak Machrudin yang bisnis mie sosis. Harus merayu istrinya yang sudah menjadi kepala cabang di bank untuk keluar dari pekerjaannya. Pak Teddy pebisnis kuliner dari Surabaya juga turut hadir. Kini ia memiliki hampir 100 outlet terang bulan dan martabak.
Ada juga Pak Fathurrozi yang menekuni bisnis optik. Yang terbaru, produknya sudah bertaraf internasional. Bahkan di tengah pandemi, penjualannya justru meningkat. Dari Purwokerto ada Pak Amir sebagai konsultan UPL Lingkungan. Yang terakhir, Pak Mulyono yang bisnis pupuk cair di Sragen. Produknya yang berasal dari kotoran cacing itu sampai diekspor ke Timur Tengah.
Kisah mereka ini menarik. Apalagi kalau berbicara tentang hutangnya yang milyaran itu. Ada yang memulai bisnis tanpa berhutang. Profit naik, bank pun datang menawarkan pinjaman. Dengan dalih untuk berekspansi. Akhirnya tertarik, dan kecanduan berhutang. “dulu semakin banyak berhutang, semakin bangga. Berarti saya dipercaya,” ujar Pak Arianda.
Kini mereka semua sudah taubat. Dari tabiat buruk berhutang. Menurut mereka, hutang hanya akan menimbulkan masalah. Baik itu ke keluarga maupun ke pekerjaan.
Cara mereka menghadapi utang juga out of the box. Jika biasanya orang menghindari bank, ini justu mendatangi pimpinan bank. sesuai nama komunitasnya, mereka hanya ingin membayar hutang pokoknya saja. Tanpa bunganya. Triknya pun unik. Pimpinan bank itu diajak mengaji. Membaca surat Al-Baqoroh ayat 275-280.
Pak Dahlan tertegun. Niat kedatangan mereka yang ingin dapat wejangan dari Pak Dahlan, rasanya terbalik. “Anda semua ini sudah hebat. Justru saya yang belajar ke Anda,” kata Pak Dahlan.
Pertemuan ini membawa berkah tersendiri bagi saya. Selain mendapat ilmu baru, juga mendapat relasi baru. Bahkan Pak Fathur yang bisnis kacamata, malam harinya main ke rumah saya.