Jakarta, 15 November 2024 – Universitas Paramadina menggelar diskusi publik bertajuk “Hubungan Politik dan Ekonomi Indonesia-China” yang menghadirkan dua pakar terkemuka untuk membedah isu strategis dalam hubungan kedua negara. Acara ini diadakan di kampus Universitas Paramadina dan dihadiri oleh akademisi, mahasiswa, serta berbagai pemangku kepentingan yang tertarik dengan dinamika hubungan bilateral Indonesia-China.
Diskusi dibuka oleh Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini, yang menyoroti pentingnya dialog kritis dalam memahami tantangan hubungan internasional, khususnya dengan China. Acara ini dimoderatori oleh Emil Radhiansyah, M.Si, dan menghadirkan dua narasumber utama, yakni Prof. Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, dan Dr. Peni Hanggarini, dosen Universitas Paramadina.
Dalam pemaparannya, Prof. Hikmahanto Juwana membahas secara rinci klaim kontroversial Nine-Dash Line yang diajukan oleh China. Ia menjelaskan bahwa klaim tersebut tidak memiliki dasar hukum internasional dan bertentangan dengan UNCLOS. Ia menegaskan bahwa Indonesia tidak pernah mengakui Nine-Dash Line, yang sering digunakan China untuk memperluas pengaruhnya di Laut Natuna Utara.
“Indonesia tidak boleh mengabaikan ancaman ini. Wilayah kita di Laut Natuna Utara, termasuk zona ekonomi eksklusif, adalah hak kedaulatan yang tidak bisa diganggu gugat,” ujar Hikmahanto. Ia juga menyoroti joint statement yang baru-baru ini ditandatangani oleh Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Xi Jinping. Meskipun dokumen tersebut bukan instrumen hukum, menurutnya, China dapat memanfaatkan pernyataan tersebut untuk memperkuat klaim internasional mereka terhadap Laut Natuna.
Hikmahanto mengingatkan bahwa langkah China ini bukan pertama kalinya. Pemerintah sebelumnya, termasuk di bawah Presiden Jokowi, telah mengambil sikap tegas, seperti pada 2016 dan 2020, ketika terjadi provokasi serupa. Ia juga menekankan bahwa pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Luar Negeri, harus lebih berhati-hati dalam menyusun dokumen diplomatik agar tidak membuka peluang bagi China untuk memanfaatkan kelemahan tersebut.
Sementara itu, Dr. Peni Hanggarini menggarisbawahi pentingnya menjaga keseimbangan dalam hubungan diplomatik dengan China. Menurutnya, diplomasi internasional harus selalu berorientasi pada kepentingan nasional dan tidak hanya berfokus pada aspek ekonomi. Ia mempertanyakan apakah hubungan Indonesia-China saat ini sudah mencerminkan kesetaraan atau masih didominasi oleh posisi China yang lebih kuat.
“China memang mitra dagang dan investor besar bagi Indonesia, tetapi hubungan ini harus berjalan secara setara. Diplomasi harus mengutamakan keuntungan bersama tanpa mengorbankan kedaulatan atau kepentingan nasional,” ujar Dr. Peni. Ia juga menyoroti pentingnya strategi diplomasi yang lebih efektif untuk memastikan Indonesia mendapatkan manfaat optimal dari kerja sama ekonomi dengan China.
Selain isu diplomasi, diskusi ini juga menyoroti dampak ekonomi dari hubungan kedua negara. China adalah investor terbesar kedua di Indonesia setelah Singapura, dan nilai investasi mencapai Rp157 triliun. Namun, meskipun investasi ini penting, para pembicara menekankan bahwa Indonesia harus berhati-hati agar tidak terlalu bergantung pada China, terutama dalam sektor-sektor strategis.
Acara ini ditutup dengan seruan untuk meningkatkan kewaspadaan dan strategi dalam menghadapi hubungan bilateral dengan China. Universitas Paramadina berharap diskusi ini dapat memberikan masukan konstruktif bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan yang melindungi kedaulatan nasional sekaligus mengoptimalkan manfaat ekonomi. “Keseimbangan antara kedaulatan dan kerja sama ekonomi harus menjadi prioritas utama,” pungkas moderator Emil Radhiansyah.