Mengenang Seniman troubadour Leo Kristi sang Musisi Folk

beerita.id – Pada pagi buta, Minggu 21 Mei 2017, dalam sebuah hotel di jalan Otista, Jakarta Timur, saya diberi tahu seorang teman bahwa Leo Kristi telah tiada dan akan dimakamkan di Bekasi. Berita singkat yang sangat mengejutkan. Rencana memang pagi itu saya akan bertolak ke Bandung untuk membesuk Om Leo yang sedang dirawat di Rumah Sakit Imanuel. Tentu saja rencana itu saya batalkan. Pagi itu juga saya dan seorang teman segera menuju kediaman Mas Bonny, kakak mas Leo, yang menjadi rumah duka di jalan Bongas, jatiwaringin Asri, Bekasi.

Seniman troubadour Leo Kristi, yang bernama asli Leo Imam Soekarno, merupakan musisi folk yang konsisten mendendangkan tembang-tembang bertema sosial kerakyatan, yang hampir keseluruhan liriknya adalah puisi dan balada. Musik serta lirik lagu-lagunya lahir dari perjalanan-perjalanya ke berbagai daerah.
Saya mengagumi musik beliau sejak di bangku Sekolah Dasar. Musiknya sangat khas di telinga. Tidak semua orang sanggup “membaca” lagu-lagu om Leo- begitulah saya biasa memanggilnya, karena perbedaan usia kami yang relatif jauh.
Saya mengagumi kepribadiannya. Dalam bergaul, Om Leo selalu tersenyum, tidak pernah marah serta menyinggung perasaan teman. Om Leo selalu ceria bila bertutur dan senantiasa menggelakkan tawa yang bersahabat. Kesan-kesan itu yang sangat melekat pada benak, bila saya mengingat kenangan bersamanya.
Jika Om Leo pulang ke kota kelahiran kami, Surabaya, saya sering berdiskusi sambil keliling bersama mencicipi kuliner di sepanjang jalan Genteng. Tetapi anehnya kami jarang berbicara tentang musiknya. Kami lebih banyak ngobrol tentang lukisan, hanya sekali-kali kami menyinggung musik. Sebagai sesama pelukis, Om Leo sering memberi dorongan untuk perkembangan lukisan saya. Om Leo juga sangat peduli dan antusias bila membahas serta memberi masukan tentang sketsa-sketsa saya. Tak heran, ketika Juli 2012 lalu saya meluncurkan buku Sketsa Bahasa Ungkapan Jiwa yang disertai pameran sketsa, Om Leo sangat antusias menanggapi rayuan saya untuk mengisi musik dalam acara tersebut. Waktu itu ia mengajak teman lamanya Titi Ajeng yang lebih akrab dipanggil Titi Manyar, untuk membawakan enam lagu hitsnya. Para hadirin sangat puas dengan penampilan mereka berdua yang pernah berduet dalam Duo Leo Chrysti, sebelum Konser Rakyat Leo Kristi terbentuk pada tahun 1975.
Tak jarang dalam pembicaraan dengannya, saya sering mendorongnya untuk berpameran tunggal, agar masyarakat lebih mengenal sosok Leo Kristi yang bukan hanya sebagai musisi, tetapi juga sebagai pelukis. Saya mengagumi lukisan-lukisannya yang berbau abstrak dan kental dengan imajinasi yang artistik. Lukisan-lukisannya tak jauh beda dengan musiknya, begitu idialis serta lahir dari perjalanannya ke berbagai daerah.

Baru pada awal 2017, rencana pameran tunggal Leo Kristi itu terwujud di galeri Dewan Kesenian Surabaya, dalam kompleks Balai Pemuda Surabaya. Saya sangat senang. Saat itu banyak pengunjung yang awalnya hanya mengetahui sosok Leo Kristi sebagai musisi, mulai mengenalnya sebagai pelukis pula. Ia memang benar-benar sosok yang multi talenta.
Jika saya menoleh ke belakang, terkadang ada satu penyesalan, karena saya tidak berhasil mengoleksi karya lukisan Om Leo. Padahal, saya sahabatnya sesama pelukis, yang selalu saling memberi masukan dibidang seni rupa yang kami geluti bersama. Tetapi, di sisi lain, ada satu kegembiraan, yaitu buah kenang-kenangan dari Om Leo berupa music box yang berisi sepuluh CD album Konser Rakyat Leo Kristi yang tiap pagi selalu saya dengarkan.